Saturday, November 14, 2009

Memahami Empat Elemen Utama Foto










Memotret adalah sebuah Seni benarkah ?
Kompas, 10 November 2009

Sunday, November 1, 2009

Analisis Sosial oleh Dadang

ANALISIS SOSIAL

(pertama)

Bagian ini akan membahas mengenai analisis. Pembahasan akan terfokus kepada dua hal:
Pertama, pembahasan mengenai pengertian dasar analsisis sosial, yang dalam hal ini akan diuraikan (serba singkat) mengenai maksud, tempat, pelaku dan proses analisis sosial. Pembahasan diarahkan untuk memberikan pengertian umum. Selain itu, akan dilampirkan pula, beberapa instrumen dalam analisis sosial, khususnya dalam issue hak asasi, demokrasi (dalam hal ini kontrol sosial), lingkungan dan gender.
Kedua, pembahasan mengenai paradigma ilmu sosial. Pembahasan ini diajukan, dengan pemahaman bahwa proses analisis sosial pada tahap tertentu akan bersentuhan dengan metode dalam ilmu sosial. Oleh sebab itu, sejak awal perlu dipahami berbagai paradigma yang ada, tentu agar dalam melakukan analisis dan terhadap hasil analisis menjadi lebih jelas posisi paradigmanya. Lebih dari itu, diharapkan akan dapat membantu memahami secara lebih mendalam mengenai dampak (akibat-akibat) dari pilihan sebuah paradigma.

Analisis Sosial: Pengertian.
Pengertian umum. Suatu analisis sosial adalah upaya untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang situasi sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan historis, sehingga memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi. Dengan demikian, analisis sosial merupakan suatu tindakan, yang bukan saja mengumpulkan informasi (data), melainkan membongkar “segala sesuatu” di balik data tersebut, dengan metode tertentu. Hasil analisis sosial disini tentu bukan kebenaran tunggal, tetapi merupakan proses yang patut terus menerus diperbaharui, dikaji kembali, khususnya bila terdapat informasi pendukung, yang memperkuat atau memperlemah analisis yang sudah ada.
Mengapa analisis sosial. Apa yang dijanjikan oleh proses analisis sosial? (i) berguna untuk mengidentifikasi dan memahami masalah secara lebih seksama: mana yang akar dan mana yang ikutan (derivasi masalah); (ii) dapat lebih mudah mendalami potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan (termasuk kelemahan) yang hidup dalam masyarakat; (iii) dapat mengukur secara lebih baik, mana kelompok-kelompok masyarakat yang paling dirugikan; dan (iv) dapat memprediksikan tindakan-tindakan yang patut dilakukan dalam upaya mengubah. Yang terakhir inilah yang akan membedakan antara analisis sosial sebagai kegiatan akademik, dan analisis sosial yang merupakan bagian dari kerja-kerja untuk perubahan.
Prinsip analisis sosial. Dalam hal ini hendak ditekankan bahwa (1) analisis sosial bukan suatu bentuk pemecahan terhadap masalah, melainkan diagnosis, yang bisa jadi akan dipergunakan dalam menyelesaikan suatu masalah; atau analisis ini akan memberikan pengetahuan yang lebih lengkap, sehingga keputusan atau tindakan yang diambil dapat merupakan pemecahan yang tepat; dan (2) analisis sosial tidak netral, selalu berawal dari komitmen. Soal ini berkait erat dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar dan sikap yang diambil dalam proses melakukan analisis.
Pelaku analisis sosial. Analisis sosial, bukan milik satu kelompok tertentu, seperti kaum intelektual, melainkan dapat dilakukan oleh siapapun. Bahkan analisis sosial yang dilakukan oleh mereka yang “terlibat” akan lebih memiliki makna, sebab dalam proses dimungkinkan terjadinya proses transformasi kesadaran. Penduduk desa atau petani, merupakan pelaku yang paling baik untuk proses analisis sosial, sebab dari proses tersebut mereka akan lebih bisa menyadari bagaimana proses sosial di desa berlangsung. Begitu juga dengan buruh untuk melihat dinamika produksi.
Tempat analisis sosial. Sebagian dari penolakan terhadap analisis sosial oleh pihak-pihak yang memihak kepada status quo, adalah karena dalam analisis sosial terdapat bobot mengubah. Dalam hal ini analisis sosial dipahami bukan sebagai karya akademik, melainkan sebuah tahap dari suatu proses merubah (baca: mendorong perubahan). Tendensi untuk menggunakan gambaran yang diperoleh dari analisis sosial bagi keperluan tindakan-tindakan mengubah, maka menjadi sangat jelas bahwa analisis sosial berposisi sebagai salah satu simpul dalam siklus kerja transformasi.

Tahap analisis sosial.
Proses analisis sosial (pada umumnya) dilakukan dengan empat tahap berikut:

 Tahap menetapkan posisi, orientasi. Pada intinya dalam tahap ini, pelaku analisis perlu mempertegas dan menyingkap motif dan argumen (ideologis) dari tindakan analisis sosial. Adalah penting untuk disadari bahwa orientasi dasar akan sangat berpengaruh kepada tahap selanjutnya dalam proses analisis;

 Tahap pengumpulan dan penyusunan data. Untuk pengumpulan data, dapat dilakukan melalui banyak cara. Gabungan metode kuantitatif dan kualitatif akan sangat mendukung, untuk memperoleh data gambaran persoalan secara lebih lengkap. Data statistik, seperti monografi desa, data BPS, dan lain-lain, kiranya akan sangat membantu. Sedangkan data yang bersifat langsung dan kualitatif, dapat digali dengan berbagai jalan, dari wawancara mendalam, FGD, tukar pikiran dalam berbagai bentuk dan berbagai kesempatan, cerita-cerita masyarakat, merupakan data lain yang patut dikumpulkan. Ujung dari pengumpulan data ini adalah suatu upaya untuk merangkaikan data, dan menyusunnya menjadi diskripsi tentang suatu persoalan atau mengenai daerah tertentu. Meskipun tahap ini lebih baru menjalankan fungsi pengumpulan, namun proses tersebut, secara prinsip akan mulai membawa pelaku analisis untuk masuk ke dalam kompleks persoalan. Dari proses itu pula, diharapkan akan makin dipahami ke arah mana pemahaman akan dikembangkan dan bagaimana kecenderungan yang terjadi di lokasi tersebut, atau apa kecenderungan yang dibisa dilihat dari data tersebut. Pelaku dalam hal ini dapat mulai membuat ancang-ancang terhadap fokus perhatian yang akan diungkapkan.

 Tahap analisis. Pada tahap ini, data yang telah terkumpul diupayakan untuk dicari atau ditemukan hubungan-hubungan diantaranya. Apa yang penting untuk dianalisis: kaitan historis, kaitan struktural, nilai-nilai menopang atau yang hidup dalam struktur tersebut, respon terhadap situasi tersebut, dan arah masa depan. Masing-masing komponen tersebut adalah:
Pertama, kaitan historis, yakni melihat kaitan kebelakang dari data yang ada. Adapun tujuan dari analisis ini adalah:
(i) memahami dari mana dan akan menuju kemana (analisis kecenderungan). Akan dike-tahui ke arah mana sejarah dari suatu situasi;
(ii) menempatkan posisi masalah yang dihadapi dalam kerangka masa lalu, kini dan masa depan;
(iii) mengembangkan kesadaran historis. Salah satu dimensi yang ingin diperoleh adalah adanya kesadaran dari pelaku, bahwa suatu situasi tidak pernah ada atau hadir begitu saja, melainkan hadir sebagai akibat dari suatu proses.
Kedua, kaitan struktural. Hal yang ingin ditemukan adalah bagaimana struktur membentuk situasi. Dengan demikian tujuan dari analisis ini adalah untuk mengenal struktur yang berpengaruh dan juga institusi-institusi sosial yang ada, karena masalah-masalah dasar, seperti penindasan, pelanggaran hak asasi, ketidakadilan, merupakan masalah-masalah yang berkait dengan struktur. Terdapat empat struktur utama yang menjadi dasar analisa:
(i) struktur ekonomi, yakni melihat bagaimana masyarakat mengatur sumberdaya, seperti asset agraria, tenaga kerja, dan lain-lain;
(ii) struktur politik, yakni melihat bagaimana masyarakat mengatur (membagi dan mengendalikan) kekuasaan, seperti proses pembuatan keputusan, pemilihan pemimpin, lembaga-lembaga politik resmi, dan lain-lain;
(iii) struktur sosial, yakni melihat bagaimana masyarakat mengatur hubungan-hubungan non ekonomi dan politik, seperti suku, pendidikan, dan lain-lain;
(iv) struktur budaya, yakni melihat bagaimana masyarakat mengatur makna dan nilai, seperti agama, mitos, dan nilai-nilai lain. Ketiga, nilai-nilai yang dominan. Hal yang ingin diketahui adalah tentang nilai-nilai sebagai cita-cita sosial yang mendorong gerak masyarakat, seperti ideologi dan norma-norma moral yang menuntun, aspirasi-aspirasi dan harapan-harapan yang ada dalam masyarakat, nilai-nilai sosial yang dapat diterima dan telah diterima.
Keempat, respon atau tanggapan. Penting diketahui mengenai tanggapan atau reaksi berbagai pihak terhadap situasi yang ada. Untuk itu, perlu diidentifikasi dengan seksama, apa dan bagaimana bentuk tanggapan dari berbagai pihak tersebut, seperti pemerintah, LSM/Ornop, dan lain-lain. Mengetahui tanggapan tersebut, sudah barang tentu akan membantu memahami peta kekuatan yang ada.
Kelima, mengenai arah masa depan. Proses ini lebih merupakan prediksi terhadap apa yang akan berlangsung dengan situasi yang ada. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai situasi masa kini, tentu akan memberikan pengaruh dalam memprediksi masa depan. Dapat pula diketahui kekuatan-kekuatan atau petunjuk mengenai masa depan dengan didasarkan kepada kecenderungan dan potensi yang ada sekarang ini.

 Tahap penarikan kesimpulan. Setelah berbagai aspek tersebut bisa ditemukan, maka pada akhirnya suatu kesimpulan akan diambil. Kesimpulan merupakan gambaran utuh dari suatu situasi, yang didasarkan kepada hasil analisa. Hasil analisis tersebut, tentu saja tidak menjadi kebenaran yang mutlak, bahkan sangat mungkin kesimpulan mencapai titik yang keliru. Kualitas dari kesimpulan terjadap suatu situasi, selain tergantung kepada proses dalam tahap-tahap tersebut, juga akan bergantung kepada: kompleksitas dari situasi yang diselidiki, kekayaan data dan akurasi data yang tersedia, ketepatan pertanyaan atau rumusan terhadap masalah, dan kriteria yang mempengaruhi penilaian-penilaian atas unsur-unsur akar.

Instrumen analisis sosial. Berikut diberikan contoh instrumen analisis sosial, khususnya untuk masalah hak asasi, demokrasi, lingkungan hidup dan gender. Untuk keperluan praktis di lapangan, instrumen tersebut dapat dikembangkan.


Empat Paradigma: Sketsa.
Belakangan ini (98-an), di jalan-jalan, makin terasa meningkatnya jumlah kaum miskin kota, seperti para pengamen jalanan, loper koran, asongan yang mengecerkan berbagai macam produk, penjual jasa membersihkan kaca mobil, pengemis, dan lain-lain. Pada umumnya mereka bergerombol di perempatan jalan atau di halte bus. Bagaimana pendapat kebanyakan orang mengenai “fenomena” ini? Bila diadakan semacam pengumpulan pendapat terhadap fenomena kemiskinan di jalan tersebut, maka bisa dipastikan akan terdapat beragam pandangan. Ada yang iba dengan keadaan mereka; ada yang sinis dan menyalahkan bahwa kaum miskin itu malas dalam bekerja; ada yang menyalahkan pemerintah; ada langsung memberi; ada yang pura-pura tidak melihat; ada yang jijik dan berusaha menghindar; dan lain-lain. Berbagai pandangan tersebut pada dasarnya berangkat dari suatu sudut pandang tertentu. Perbedaan sudut pandang, tidak saja akan menghasilkan kesimpulan, penilaian dan sikap yang berbeda, tentang realitas sosial (dalam hal ini kasus kaum miskin kota), tetapi juga (mungkin) usulan-usulan program bagaimana mengatasi pelonjakan populasi kaum miskin tersebut.
Suatu sudut pandang yang dimaksud disini, bisa saja merupakan sudut pandang yang secara sadar dipakai, namun dapat pula tanpa sadar digunakan. Yang terakhir ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat awam, yang secara intensif memperoleh sosialisasi atau terbentuk oleh keadaan sosial tertentu. Sudut pandang tersebut merupakan dasar dari keseluruhan cara berpikir, atau suatu paradigma. Berikut ini akan dibahas, serba singkat, empat paradigma, yang melambari teori-teori ilmu sosial. Pertama akan dibahas pendasaran dari paradigma tersebut, dan kedua akan dibahas (secara singkat) empat paradigma tersebut.
Tentang asumsi dasar ilmu. Usaha memahami asumsi dasar ilmu, pada didasarkan kepada pandangan bahwa teori-teori ilmu sosial didasarkan kepada cara pandang tertentu, yakni tentang bagaimana realitas dipandang (asumsi ontologis), bagaimana pengetahuan diperoleh dan dikembangkan (asumsi epistimologis, filsafat ilmu), tentang hakekat manusia, dan tentang metode perolehan ilmu.
Pertama, pandangan mengenai realitas. Hingga kini, dapat dikatakan terdapat dua pandangan yang bertolak belakang, dalam melihat realitas: (1) pandangan yang menyatakan bahwa kekuatan ide lah yang membentuk realitas. Realitas di masyarakat merupakan hasil bentukan ide manusia. Dengan sudut pandang ini dapat dikatakan bahwa bila ide mengenai masyarakat sipil ditumbuhkan, misalnya, maka akan tercipta masyarakat sipil; (2) pandangan yang mengatakan bahwa kondisi material (kenyataan obyektif) yang menciptakan ide. Dalam kasus masyarakat sipil, misalnya, adanya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi dan makin menguatnya posisi negara, telah menimbulkan gagasan mengenai pentingnya masyarakat sipil –yakni masyarakat yang dapat mengimbangi kekuatan negara, independen dan hidup dalam moralitas kebebasan.
Kedua, mengenai landasan ilmu pengetahuan. Yakni tentang bagaimana sesorang mulai memahami realitas sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Padangan pertama, dikenali sebagai kubu kaum positivis. Disebelahnya adalah kaum anti-positivis. Kaum anti-positivisme tidak menerima pandangan yang mengatakan berlakunya kaidah-kaidah tatanan sosial tertentu untuk semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang-per-orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu.
Ketiga, tentang hakekat manusia. Bagaimana hubungan manusia dengan lingkungannya? Apakah manusia merupakan produk atau kontrsuksi dari lingkungan, atau sebaliknya. Yang pertama percaya bahwa manusia adalah hasil konstruksi sosial. Manusia (kesadaran, pikiran dan kebudayaan) ditentukan oleh realitas disekelilingnya. Sebaliknya, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah pencipta dunianya. Manusia memiliki kebebasan memilih. Dengan demikian manusia bukan dikendalikan, melainkan mengendalikan.
Keempat, tentang bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan? Pandangan pertama menyatakan bahwa terdapat “hubungan-hubungan” (rumusan) tentang realitas sosial, yang pada gilirannya dapat menjelaskan berbagai fenomena sosial. Metode yang dikembanga adalah dalam upaya untuk mencari hukum-hukum yang dapat berlaku umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Sebaliknya, pandangan kedua, memusatkan perhatian pada hal yang lebih spesifik. Hal ini didasarkan kepada pandangan bahwa tiap masyarakat memiliki perbedaan, yang tidak dapat diperlakukan sama.


Tentang Hakekat Masyarakat. Bagaimanakah suatu masyarakat tumbuh dan berkem-bang? Bagaimana memahami dinamika yang hidup dalam masyarakat? Jawaban pertanyaan ini, bergantung bagaimana masyarakat dilihat. Dalam hal ini terdapat pandangan bahwa masyarakat pada hakekatnya merupakan suatu tatanan yang saling bergantung satu sama lain; masyarakat akan dapat berkembang bila keteraturan dapat dicapai. Atau setidaknya bila terdapat “masalah” maka hal tersebut dipandang sebagai suatu penyimpangan, yang akan kembali normal setelah fungsi-fungsi sosial yang ada bekerja sesuai dengan fungsinya. Keteraturan merupakan keadaan yang diharapkan dalam masyarakat.
Disebelahnya adalah pandangan perubahan radikal. Dalam pandangan ini diyakini bahwa dalam masyarakat sarat dengan pertentangan-pertentangan yang mendasar. Perubahan radikal menjadi jalan yang paling mungkin untuk membebaskan masyarakat dan pada gilirannya mencapai kondisi kemajuan. Konflik tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif, justru dipandang sebagai kekuatan untuk mendorong perubahan kearah yang lebih baik. Dalam konteks dinamika masyarakat, adanya konflik didasarkan kepada: (1) bahwa rakyat memiliki kepentingan, dan mereka akan sekuat daya mendapatkan; dan (2) kekuasaan senantiasa akan mempertahankan status quo, dalam mana untuk mendapatkan kekuasaan dibutuhkan perjuangan.

Empat paradigma teori sosial.
Paradigma merupakan semesta cara berpikir. Jika suatu paradigma telah digunakan, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.
Pertama, fungsionalis. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial.
Kedua, interpretasi. Menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya. Memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Ketiga, humanis radikal. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada; bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya.
Keempat, strukturalis radikal. Menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Perubahan yang diharapkan adalah suatu perubahan mendasar yang bersifat obyektif.
Manakah dari keempatnya yang paling baik? Masalah ini tentu saja sangat sulit untuk dijawab, sebab hal ini menyangkut pendirian dan pilihan. Hal yang patut dipahami bahwa setiap paradigma memiliki karakter dan konsekuensi tersendiri. Para penguasa, sebagai contoh, lebih cenderung berada dalam posisi paradigma fungsionalis. Yang anti perubahan dan senantiasa berupaya mempertahankan status quo. Dihadapan penguasa, demonstrasi atau resistensi, akan dianggap sebagai pembangkang, penyimpangan, karena itu harus ditiadakan. Bagi gerakan pembaruan (perubahan), maka dapat digunakan paradigma dengan ciri perubahan (radikal).

Ilmu Komunikasi

KOMUNIKASI


Komunikasi secara populer dipahami sebagai aktivitas pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Ada pula yang memahami komunikasi sebagai pengalihan informasi untuk memperoleh respon (tanggapan). Namun demikian ada pula yang mengatakan bahwa informasi bukan sekedar penerusan informasi dari sumber kepada penerima. Dalam hal ini komunikasi dipahami sebagai proses penciptaan kembali gagasan-gagasan informasi oleh penerima (publik). Artinya, pesan (informasi) yang disampaikan akan menjadi “hal” yang kemudian berusaha diciptakan kembali, atau dimaknai oleh penerima.
Arus pertama pengertian komunikasi (konvensional) menyebut beberapa unsur yang perlu digaris bawahi: (1) sumber, atau pengirim pesan,; (2) pesan, atau materi yang akan disampaikan; (3) media, wahana (saluran); dan (4) penerima. Bagaimana hubungan antara sumber (pengirim pesan) dengan penerima (publik)? Bagaimana ketika dialog terjadi, yakni ketika penerima memberikan respon dan kemudian menjadi pihak yang mengirimkan pesan (respon)? Pada kasus awal, maka yang terjadi adalah suatu komunikasi dengan arah tunggal, dan baru terjadi proses dua arah, ketika respon terjadi. Bila respon tidak terjadi dan tidak dimungkinkan, dapat dikatakan bahwa suatu komunikasi dua arah tidak berlangsung, dan yang terjadi adalah komunikasi satu arah, dalam mana penerima harus menerima pesan, tanpa bisa memberikan tanggapan (respon) yang memadai. Penerima pesan bersifat pasif. Kalaupun terjadi respon, reaksi, maka hal tersebut lebih akan bersifat sebagai proses bertanya untuk memperjelas (klarifikasi), dan sangat jarang dalam proses tersebut penerima pesan melakukan penolakan atau bahkan mengubah sama sekali isi (materi) pesan.
Pada arus pikiran kedua, terdapat ciri dari komunikasi, yakni (1) adanya makna yang telah disepakati atau diketahui bersama; dan (2) adanya tindakan pengamatan terhadap sesuatu yang didasarkan kepada interpretasi personal. Dengan demikian, komunikasi berarti rangkaian tindakan mengamati, menginterpretasikan, menyusun makna, bertindak berdasarkan makna dan kemudian mengungkapkan makna tersebut. Dalam pengertian ini terdapat kesan bahwa dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi akan melakukan proses dan tindakan yang sama. Masalahnya adalah apakah setiap pihak benar-benar memiliki kesempatan dan otoritas yang sama dalam proses tersebut. Benarkah makna yang ada merupakan suatu bentukan bersama, ataukah hanya merupakan pilihan yang sudah ditentukan oleh pihak yang menjadi pengirim pesan? Dalam melihat prose demontrasi (aksi massa), misalnya. Pihak pemerintah mengirimkan makna bahwa tindakan tersebut merupakan penyimpangan, tidak baik, dan bukan merupakan cara yang terpuji. Apakah masyarakat punya hak yang lebih besar untuk memberikan tanggapan terhadap pesan tersebut dengan makna yang dipahami dan dibangun oleh massa rakyat? Dengan demikian, baik yang pertama maupun arus kedua, pada dasarnya berdiri pada posisi yang sama, sebab memang alur dalam proses komunikasi tersebut adalah sumber-pesan-alat-penerima. Dalam mana sumber senantiasa menjadi penentu makna dan proses.
Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas berbagai macam pengertian teoritik mengenai komunikasi. Fokus pembahasan adalah mengenai komunikasi dalam keperluan untuk proses pemberdayaan rakyat. Gambaran pengertian diatas yakni pengertian konvesional mengenai (proses) komunikasi, lebih ditempatkan sebagai pembuka pembahasan lebih lanjut mengenai bentuk komunikasi yang dominan dalam masyarakat. Dalam hal ini pembahasan akan lebih mengarah kepada apa dan bagaimana media komunikasi, yang paling tepat untuk keperluan tersebut (pemberdayaan). Selain itu, secara singkat akan diulas pula mengenai menyusun suatu tulisan populer yang bagi media masa, tentu bukan jurus menulis, melainkan prinsip dasarnya, yang diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut.
Komunikasi Top-down.
Di bawah kekuasaan rejim otoriter, sangat lajim dijumpai peristiwa dimana masyarakat harus memamah (mengunyah) informasi yang berasal dari kekuasaan tanpa dapat membuangnya atau menolak secara demokratik. Siaran relay berita pemerintah, pada setiap jam (sebanyak 11 kali) dalam sehari. Siaran langsung liputan kegiatan pejabat pemerintah. Kewajiban membuat liputan dengan berita yang telah dibuat standar pada semua penerbitan (media cetak). Dll. Merupakan sejumlah cerita mengenai kontrol media yang dilakukan oleh pemerintah, dalam upayanya mengontrol berbagai gagasan yang berkembang di masyarakat. Mengapa kekuasaan mengontrol media komunikasi? Hal ini (sebagian) disebabkan oleh kenyataan bahwa penyebaran gagasan pembangunan, doktrin, bahkan rencana-rencana pemerintah, lebih efektif sampai ke masyarakat dengan menggunakan media massa. Selain itu, dominasi pesan, pada dasarnya menjadi proyek menutup ruang bagi masyarakat.
Bagaimana bentuk komunikasi penyelenggara kekuasaan kepada yang dikuasai: antara pemerintah dan rakyat? Apakah mungkin masyarakat melakukan komunikasi (langsung) dengan pejabat tinggi? Dan sebaliknya, mungkinkan pejabat tinggi melakukan komunikasi dengan massa rakyat? Kegiatan-kegiatan seperti klompencapir, dan berbagai acara dalam kemasan dialog antara pejabat dengan masyarakat, memperlihatkan bahwa masyarakat sangat kecil kemungkinannya menjadi sumber berita, kecuali oleh suatu “rekayasa” (kemasan tertentu), yang mungkin dimaksudkan untuk menunjukan adanya hubungan dekat antara pejabat dan rakyat. Sebaliknya, para pejabat tinggi dengan sangat mudah menyampaikan pesan kepada masyarakat, dengan kapasitas dan frekuensi yang jauh lebih besar. Model komunikasi ini memang bukan suatu komunikasi dari bawah ke atas, tetapi sebaliknya dari atas ke bawah.
Berkembangnya suatu model komunikasi top-down, dengan bentuk proses: sumber-pesan-media-penerima, kiranya dapat dipahami sebagai bagian yang tidak terpisah dari format politik yang ada. Model komunikasi yang demikian inilah yang dominan berlangsung dalam masyarakat. Model komunikasi yang demikian, tentu saja menjadi proses yang efektif bagi sumber (pengirim) pesan, dalam kaitannya untuk mempengaruhi penerima pesan. Perkembangan model komunikasi tersebut, pada dasarnya dapat dipahami, sebab bagaimana pun bentuk pilihan komunikasi akan sangat bergantung kepada kepentingan politik yang ada. Di bawah struktur kekuasaan yang otoriter, dimana kontrol masayarakat ditabukan, dan pihak pemerintah menganggap dirinya selalu benar dan menjadi sumber kebenaran, maka menjadi wajar bila sistem komunikasi yang dikembangkan adalah sistem yang didasarkan kepada konsep komunikasi yang lebih bersifat satu arah. Proses sosialisasi program pembangunan, merupakan contoh yang paling baik, yang menunjukan bagaimana komunikasi berjalan, antara pihak pemerintah dengan masyarakat.
Dalam kasus program KB (keluarga berencana) sebagai contoh: segenap informasi kebijakan dibanjiri kepada masyarakat, dengan maksud agar masyarakat menggunakan kontrasepsi bagi keperluan pengendalian jumlah penduduk. Lembaga-lembaga yang terlibat, bekerja sangat efektif merancang bagaimana agar informasi mengenai KB bisa sampai dan menarik minat. Dengan demikian, segi-segi negatif yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat tidak pernah sampai. Pada sisi yang lain, saluran bagi feed back, tidak masuk dalam pertimbangan. Akibatnya ketika masyarakat mengalami persoalan berkaitan dengan program tersebut, terpaksa mereka memikirkan sendiri, dan bahkan mengambil tindakan tersendiri yang mungkin semakin merugikan. Kasus di lapangan pertanian, masalahnya hampir serupa. Introduksi sistem pertanian baru, seperti penggunaan pupuk, pestisida, bibit unggul, dan lain-lain, boleh dikatakan serba sedikit menyinggung masalah dampak atau kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan. Setelah hampir dua dasawarsa lebih, masyarakat baru mulai merasakan masalah-masalah yang bersifat strategis, seperti kehancuran lahan pertanian akibat pupuk, ketergantungan dan masalah-masalah lain. Di sektor perburuhan, hal yang serupa juga terjadi, yang pada intinya, masyarakat dijadikan obyek kebijakan pembangunan tanpa mendapatkan porsi ruang yang memadai bagi suatu feed back.
Apa yang menjadi masalah penting dalam model komunikasi yang demikian, tidak lain dari adanya kebuntuan dan lebih jauh hal ini mengakibatkan terhambatnya kreasi masyarakat dalam memberikan respon pada keadaan-keadaan yang sulit. Kreasi dan prakarsa masyarakat, termasuk swadaya masyarakat, pada dasarnya sangat penting untuk dikembangkan, sebab dalam kenyataan, “subsidi” (bantuan) pemerintah yang berasal dari dana pajak masyarakat (dan lain-lain), semakin terbatas, khususnya sebagai akibat meluasnya kebutuhan masyarakat. Bila ketergantungan masyarakat tinggi, sementara bantuan yang bisa diupayakan pemerintah sangat rendah, dan pada sisi yang lain masyarakat tidak terbiasa mengembangkan kreasitivitas dan prakarsannya, maka tentu hal ini akan membawa akibat yang buruk. Di sisi lain, pelembagaan sistem komunikasi yang demikian, disadari akan semakin memperkuat status quo, khususnya oleh tipisnya mekanisme kontrol. Masalahnya, bagaimana agar suatu kontrol dan ruang bagi kreativitas masyarakat bisa tumbuh?
Masalah ini sesungguhnya bukan suatu problem teknis komunikasi, melainkan berkait erat dengan paradigma dan asumsi-asumsi dasar yang dianut oleh pengembang sistem informasi tersebut. Penting pula diketahui bahwa komunikasi amat berperan dalam membentuk situasi dan karakter suatu masyarakat. Peran besar komunikasi ini bukan saja di bawah rejim otoriter yang menindas, tetapi juga di bawah rejim demokratik. Di bawah rejim otoriter, komunikasi menjadi alat politik untuk menyampaikan doktrin dan kebohongan dari kekuasaan. Efektivitas tersebut berkait dengan kontrol yang ketat terhadap perkembangan media komunikasi. Dalam kasus Orde Baru, diketahui bagaimana kontrol dikembangkan, dari “lembaga telpon”, breidel, siaran sentral, dan lain-lain, merupakan bentuk-bentuk sensor yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga yang boleh hadir di masyarakat adalah media yang sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah. Dengan demikian, usaha menghadirkan suatu bentuk komunikasi baru, yang bertujuan untuk memberikan tempat bagi hubungan timbal balik, kesejajaran, dan kontrol sosial, dibutuhkan bukan saja media alternatif, tetai juga suatu pijakan baru dalam bangunan sistem komunikasi tersebut.

Eksistensi Media.
Media dan kekuasaan. Sebelum lebih jauh memahami pendekatan baru untuk suatu komunikasi yang memberdayakan masyarakat, penting pula dipahami keberadaan media dalam konteks Indonesia. Pertama, pada masa rejim Soekarno, dapat dilihat bagaimana kuatnya karakter media, yang mencerminkan “dominannya” nasionalisme. Dalam banyak media, dari media formal, seperti koran, radio, bahkan hingga buku-buku bacaan (komik, cerita bergambar), tampak jelas muatan ideologis dalam isi media tersebut. Pada periode tersebut, media banyak memuat spirit kebangsaan, dalam mana masyarakat luas diharapkan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media sangat dipengaruhi oleh ideologi dominan yang ada. Kedua, pada masa Orde Baru, yang bersandar kepada paradigma pembangunan, yang berorientasi mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ternyata juga sangat mempengaruhi tema-tema dalam media. Heroisme yang berkembang pada periode sebelumnya, secara praktis berubah, digantikan dengan nilai-nilai yang pada satu sisi memperkuat argumen urgensi pembangunan, dan disisi lain mengembangkan konsumtifisme di masyarakat, yang pada gilirannya akan menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi.
Posisi keberadaan media yang terintegrasi dalam politik nasional, menjadikan potensinya untuk menjadi wahana yang memberdayakan masyarakat menjadi hilang. Baik pada periode Soekarno maupun di masa Orde Baru, konsep komunikasi yang dipergunakan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Yang berubah adalah kerangka muatan (pesan) dari media tersebut. Pola top-down, tetap sangat menonjol. Dalam hal ini publik, pembaca, pendengar atau penerima, hanya berposisi sebagai obyek. Media dalam hal ini berada dalam posisi sebagai alat kekuasaan dalam mempengaruhi masyarakat. Tentu saja bukan dimaksudkan agar masyarakat kuat dan memiliki kemampuan kontrol, melainkan lebih untuk memberikan legitimasi kepada kekuasaan. Hal ini berarti bahwa media sebetulnya menjalankan fungsi sebagai wahana reproduksi legitimasi kekuasaan, yang pada setiap kurun memang perlu diperbaharui.
Pengaruh media. Kehadiran media di masyarakat, tentu saja membawa pengaruh yang sangat besar. Media TV sebagai contoh. Sejak kehadiran TV pada awal 70-an, perilaku sosial mengalami perubahan yang cukup penting. Di masa dimana koran yang masih dominan, maka “pemirsa” atau audiens utama media tersebut adalah kalangan orang dewasa. Setelah membaca, pada umumnya masyarakat masih memperbincangkan, terutama karena isi (pesan) lebih banyak merupakan informasi, dan sangat sedikit menyajikan unsur hiburan. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi tersebut, dari radio hingga TV, terjadi perluasan audiens media. Dalam hal ini anak-anak mulai bisa ikut mengakses informasi tersebut. Terlebih lagi karena isi (pesan), tidak sekedar informasi (berita), tetapi juga hiburan dan informasi mengenai hiburan. Dengan adanya pergeseran-pergeseran ini, sudah barang tentu membawa pula perubahan dalam pola “pergaulan” dalam masyarakat, dalam mana pengelompokan sosial juga mengalami perubahan signifikan.

Komunikasi Horisontal.
Mungkinkan melakukan proses pemberdayaan rakyat dengan bersandar kepada konsep komunikasi konvesional, dimana arus informasi (pesan) bersifat satu arah? Untuk pemberdayaan rakyat kecil, diperlukan suatu proses yang memungkinkan berlangsungnya interaksi yang lebih demokratis antar anggota masyarakat. Dalam hal ini tidak akan dibahas mengenai perdebatan-perdebatan teori komunikasi. Prinsip yang ingin dikembangkan disini adalah keluar dari model komunikasi konvensional, yang ditandai oleh mekanisme yang bersifat top-down, kepada model komunikasi baru yang bersifat korisontal.
Komunikasi horisontal berangkat dari: (1) kebutuhan memberdayakan masyarakat; (2) untuk memberdayakan masyarakat, sejak awal adanya kesempatan bagi masyarakat, bukan sekedar mendengar atau menerima pesan, melain untuk ikut ambil bagian dalam menentukan “persoalan” yang akan dibahas. Suatu komunikasi yang diletakkan sebagai wahana untuk lebih memberdayakan masyarakat, berarti patut menghindarkan diri kecenderungan (1) memberi (menyampaikan) di satu pihak dan menerima di pihak lain; dan (2) pesan (informasi) merupakan sesuatu yang sudah jadi, tidak bisa diubah atau tidak memberi tempat bagi pandangan lain. Bila kecenderungan tersebut yang terjadi, maka masyarakat akan hanya menjadi penerima, yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mempertanyakan dan mengajukan tema alternatif.
Dalam komunikasi horisontal, bukan lagi suatu pesan yang telah dirancang dengan makna tertentu, melainkan seperangkat persoalan, fakta sosial dan berbagai persoalan aktual, yang dirajut menjadi sebuah tema. Tema dalam hal ini menjadi bahan pembahasan, pembicaraan dan diskusi lebih lanjut. Jika pada komunikasi konvesional, hanya satu pihak yang memiliki kesempatan besar untuk bicara, maka pada komunikasi horisontal, semua pihak dapat ambil bagian dalam porsi yang sama besar. Dengan demikian, yang ada bukan antara sumber dan penerima, melainkan antar partisipan. Apakah dalam model komunikasi yang demikian masih diperlukan adanya media? Tentu saja media tetap diperlukan. Hanya saja media dalam hal ini bukan diproyeksikan sebagai penyebar pesan, melainkan sebagai sarana penyaji tema.
Dengan demikian model komunikasi horisontal pada dasarnya adalah sarana dialog antar anggota masyarakat/kelompok. Proses dialog berarti adanya kesempatan untuk saling mengung-kapkan masalah-masalah yang dihadapi dan sedapat mungkin mengggali berbagai kemungkinan untuk memecahkan persoalan yang ada. Pada level tertentu model ini sangat berguna untuk mendorong solidaritas dan dengan sendirinya akan lebih memperkuat masyarakat untuk mela-kukan tindakan bagi pembebasan terhadap penindasan. Dalam konteks buruh, misalnya, model komunikasi horisontal, akan memberikan kesempatan kepada para buruh untuk saling bertukar pengalaman, baik dalam penanganan kasus, sampai kepada bagaimana menghemat pengeluaran agar bisa survive. Melalui komunikasi itu pula diharapkan muncul ide-ide untuk perubahan dan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik.
Komunikasi horisontal dengan pendekatan dialog, sesungguhnya bukan sekedar pilihan kreatif dari suatu proses sosial. Dalam perspektif global, khususnya dalam konteks perkembangan daerah-daerah terbelakang (miskin dan tertinggal), maka komunikasi jenis ini pada dasarnya merupakan bentuk kritik atas model pembangunan yang selama ini dijalankan, dimana komunikasi vertikal (top-down) menjadi salah satu unsur penyokong. Pada cara berpikir lama, dianggap bahwa masalah-masalah yang berkembang di dunia ketiga, atau di desa-desa yang terbelakang dan miskin, lebih merupakan masalah yang bersumber kepada “kurangnya informasi” terhadap berbagai aspek kemajuan (modern). Masalah-masalah seperti keterbelakangan dalam produksi pertanian, masih dipakainya cara-cara “tradisional”, rendahnya produktivitas, daya kreasi, inovasi, yang pada gilirannya menjadi faktor penyebab kemiskinan rakyat desa, bukan dilihat sebagai akibat dari jaringan eksploitasi yang efektif yang dijalankan oleh negara-negara industri maju, melainkan sebagai akibat kesalahan mereka sendiri, baik sebagai akibat mentalitas mereka yang buruk, dan lebih jauh lagi dilihat sebagai belum terjadinya “transfer pengetahuan” secara memadai.
Pandangan inilah yang menjadi dasar kebijakan-kebijakan pembangunan di sektor pertanian, dalam kerangka revolusi hijau, yang kemudian secara gencar membombardir desa dengan berbagai informasi, yang dimaksudkan sebagai jalan untuk menyebarluaskan dan sekaligus mendorong penyerapan informasi dari luar desa kepada masyarakat desa. Oleh sebab itu, dijalankan strategi media yang sangat “inovatif”, dari menggunakan media lokal, sampai memakai media modern (televisi, radio, koran, dan lain-lain). Kesemua sarana baru tersebut, termasuk gerakan koran masuk desa, pada dasarnya adalah suatu skema dari proses “bagaimana menyampaikan pesan efektif kepada masyarakat agar masyarakat bergerak dari keterbelakangan kepada kemajuan. Dalam hal ini pihak pertama, penyampai pesan, berusaha sekuat daya mengemas pesan tersebut. Dimana pesan tersebut tidak lain dari sekumpulan informasi yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu yang sepenuhnya ditentukan oleh pihak pertama. Pihak kedua, dalam hal ini masyarakat desa, petani, lebih merupakan kelompok sasaran yang akan menerima pesan tersebut dan “menjalankannya”. Berbagai bentuk ketergantungan masyarakat desa dengan kekuatan eksternal tersebut membuat pesan, yang meskipun muncul sebagai pesan tanpa paksaan, tetapi terkondisi menjadi “sesuatu” yang sudah harus dijalankan, tanpa bisa menolak atau menyatakan tidak setuju, atau mengajukan pandangan lain. Pintu bagi pertimbangan telah dikunci.
Apa yang terjadi kemudian? Kemiskinan dan keterbelakangan, ternyata tidak lenyap sejalan dengan gencarnya informasi ke desa. Listrik masuk desa, selain memberi terang (sinar), juga menjadi jalan bagi alat-alat elektronik, yang kebanyakan tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi oleh berbagai pesan, barang-barang tersebut dikonsumsi juga. Selain itu, produktivitas pertanian memang bisa diraih, seperti swasembada beras yang bisa diraih tahun 1984, tetapi persis pada kurun itu juga “nilai tukar petani” berada pada posisi lebih buruk dibandingkan kondisi tahun 1976. Lebih dari itu, makin disadari bahwa proses penyerbuan informasi dari luar, pada dasarnya menutup kreativitas masyarakat setempat, sehingga kearifan lokal, yang menyimpan strategi hidup yang sudah teruji ratusan tahun, tidak bisa berkembang dan bahkan terancam punah. Pada sisi yang lain, masyarakat desa sebetulnya sedang diajak menyelesaikan masalah dengan jalan asing, yang pada kebanyakan tidak bersesuaian dengan kondisi obyektif di lokasi mereka. Kondisi ini pula yang menjadi landasan kritik dan pada giliran-nya dikembangkan model baru, yakni komunikasi horisontal, yang padanya dimungkinkan adanya partisipasi aktif dari masyarakat setempat. Meneruskan model komunikasi vertikal, makin dirasakan sebagai proses pengasingan masyarakat lokal dari kehidupan mereka.
Media massa dan media kelompok. Hendaknya secara jeli mulai dilihat adanya perbedaan yang penting antara media massa dan media kelompok. Pada yang pertama menekankan pada: (1) penyampaian pesan; (2) mencakup “skope” yang lebih luas, bukan kelompok tetapi orang banyak sekaligus; (3) memiliki tujuan agar penerima terpengaruh dan dengan begitu saja mengikuti; dan (4) bersifat serentak, dalam waktu yang sama (bersamaan) –acara TV merupakan contoh yang baik, yakni diterimanya informasi pada waktu bersamaan diberbagai daerah, sampai ke pelosok-pelosok kampung. Dalam media massa belakangan ini berkembang pemikiran untuk lebih mendemokratiskan, yakni membuka saluran partisipasi langsung, yakni memberikan respon terhadap acara-acara yang ada, atau menyampaikan pandangan kritis terhadap informasi yang disampaikan. Namun kesemuanya itu bukanlah suatu dialog sebagaimana yang dipahami dalam komunikasi horisontal. Oleh sebab itu pula, media kelompok pada dasarnya tidak cukup efektif, bila ditinjau dari kerangka mobilisasi dan penyebaran doktrin ke masyarakat. Media massa dapat berguna bagi masyarakat sepanjang menyebarkan informasi yang dijamin lepas dari kepentingan luar dan dijamin tidak membawa misi yang sarat dengan muatan eksploitasi.
Pada yang kedua (media kelompok), biasanya dipakai komunikasi horisontal. Dimana sarana-sarana yang dikembangkan, bentuk-bentuk media yang diproduksi, lebih dipakai untuk menciptakan suatu komunikasi di dalam kelompok. Oleh sebab itu yang disampaikan bukan suatu pesan yang sudah jadi, melainkan sesuatu (kejadian atau tema tertentu) yang terbuka bagi pembahasan dan pikiran dari masyarakat. Dalam prosesnya, media kelompok merupakan jembatan masyarakat untuk lebih paham, menyadari kenyataan yang ada, sehingga masyarakat dapat membebaskan diri dari realitas tersebut. Bentuk-bentuk teater rakyat, rembug antar warga di desa, dan berbagai sarana yang lain, sepanjang dimaksudkan untuk memberi ruang bagi dialog kreatif, tanpa paksa, tanpa rekayasa, dan terbuka bagi pandangan-pandangan baru, maka dapat dikatakan sebagai media kelompok. Seorang pemimpin patut dengan jeli menangkap kebutuhan masyarakat atau kelompok, dan merancang bentuk-bentuk komunikasi yang lebih pas bagi masyarakat setempat.

Strategi Media.
Bila suatu strategi adalah jalan untuk mencapai tujuan. Maka untuk mendapatkan strategi yang baik, bukan hanya diperlukan kemampuan untuk memban¬gun jalan tersebut secara baik, dan memberikan keselamatan kepada mereka yang melaluinya, tetapi juga patut melengkapi diri dengan pengetahuan yang akurat tentang rute yang akan dilalui, atau posisi berdiri kita sendiri, dan posisi berdiri dari kekuatan anti perubahan. Hal ini berarti bahwa suatu stra¬tegi yang baik membutuhkan paling tidak: (1) suatu pengetahuan yang menyeluruh, kritis dan obyektif, mengenai hal-ihwal dari apa yang ingin dicapai; dan (2) suatu tata susunan langkah-langkah yang akan diambil sehubungan tujuan yang ingin dicapai dikaitkan dengan kenya¬taan-kenyataan yang ada mengenai musuh. Suatu strategi yang baik, dalam hal ini tidak ditentukan oleh suatu kecerdasan individual, melainkan oleh hasil kerja kolektif, terutama untuk bisa memperoleh data yang akurat mengenai hal-ihwal dari apa yang ingin dicapai. Tanpa suatu pengetahuan yang akurat, maka strategi tidak lebih merupakan impian, yang sangat mungkin merupakan alamat untuk kehancuran.
Berbagai usaha memberdayakan masyarakat, tentu juga tunduk oleh hal tersebut. Artinya, setiap usaha yang dilakukan bila tanpa suatu pemahaman yang lebih mendalam dan akurat, hanya akan membawa kepada salah langkah, sehingga tujuan yang ingin dicapai tidak akan bisa diraih. Oleh karena itu, untuk menetapkan secara lebih baik media apa yang relevan dipergunakan dalam suatu masyarakat atau lokal tertentu, tidak bisa dilakukan begitu saja, melainkan membutuhkan perhitungan yang lebih masak. Pertama, mengenai dampak atau pengaruh dari media. Adalah perlu untuk memahami dengan seksama “apa pengaruh media, khususnya media” massa terhadap masyarakat. Dalam kasus TV, terlihat bagaimana media ini telah membawa kecenderungan-kecenderungan baru, yang dapat dikatakan lebih banyak mengandung unsur negatif daripada unsur positif. Terlebih lagi, media TV (hampir sepenuhnya, khususnya TV swasta) beredar atas panduan modal. Maka dapat dipahami bahwa TV sebetulnya telah menempati posisi sebagai alat “propaganda” pengusaha, agar masyarakat terpengaruh dan kemudian membeli atau memakai produk yang ditawarkannya.
Kedua, tingkat sebaran media yang ada. Posisi paradigmatik media massa, sebagaimana yang telah diuraikan di depan, tentu saja bukan suatu kemutlakan. Hal yang patut diingat bahwa baik rejim otoriter maupun pemerintahan yang berdiri pada sendi-sendi demokrasi sama-sama menggunakan media komunikasi. Pada yang pertama lebih diarahkan untuk memobilisasi, menekan serendah-rendahnya partisipasi riil masyarakat, menumbuhkan loyalitas tunggal untuk mendukung mayoritas tunggal, dan berbagai tujuan lain yang bermuara kepada usaha mempertahankan status quo. Pada yang kedua, berkebalikan, dimana media komunikasi dipakai sebagai alat untuk memperkuat demokrasi. Disinilah hendak dikatakan bahwa pemegang media massa pada dasarnya menjadi salah satu faktor penentu, akan kemana posisi media komunikasi tersebut.
Untuk keperluan yang kedua tersebut, dibutuhkan pemahaman mengenai bagaimana tingkat penyebaran atau penggunaan media komunikasi di masyarakat. Pemahaman ini diperlukan dalam rangka menentukan apakah penggunaan suatu media dapat dikatakan relevan ataukah tidak. Data statistik tentang sebaran radio, televisi, dan koran, kiranya akan dapat memahami bagaimana kondisi komunikasi di masyarakat tertentu. Dengan pengetahuan inilah akan diajukan dua masalah penting: (1) apa media yang paling tepat untuk mempengaruhi masyarakat? Atau (2) pada bagian apa dalam masyarakat yang perlu dikembangkan agar di kalangan mereka hadir suatu bentuk komunikasi yang memperkuat. Jawaban pertama lebih mengarah kepada pencarian media yang efektif dalam penyampaian pesan, yakni pesan yang bukan bermotif eksploitatif, melainkan pesan dalam kerangka memperkuat. Jawaban kedua lebih kepada bagaimana semaksimal mungkin meningkatkan daya kreasi masyarakat.
Ketiga, media yang paling cocok? Memilih media yang dikaitkan dengan kebutuhan untuk memenangkan pikiran di masyarakat, atau agar masyarakat dapat menangkap pesan yang disampaikan, tentu saja patut melihat dengan seksama berbagai bentuk media komunikasi yang ada, dan sampai seberapa jauh masyarakat menggunakannya. Untuk konteks sekarang ini, televisi merupakan media yang paling banyak diakses masyarakat, khususnya masyarakat kota, yang dalam kehidupan sosialnya didukung oleh infrastruktur yang jauh lebih memadai ketimbang desa. Jadi penggunaan TV akan lebih efektif untuk membawa pesan-pesan pembaruan. Namun bila, pijakan bukan kepada bagaimana memenangkan pikiran, maka dengan sendirinya masalah penerimaan di masyarakat menjadi tidak penting. Pemimpin dalam posisi ini berarti tidak akan dibebani apakah ide-idenya diterima oleh masyarakat ataukah tidak, namun yang lebih utama adalah bagaimana agar prakarsa masyarakat tumbuh. Sehingga yang akan dikembangkan adalah berbagai daya upaya untuk memperkembangkan potensi masyarakat, bakat yang ada, sehingga mereka dapat keluar dari kesulitan mereka sendiri.

Menulis di Media Massa.
Dengan asumsi bahwa media massa masih tetap dapat dipergunakan sebagai wahana untuk memperkuat masyarakat dan mendorong demokrasi, maka menggunakan media massa, dalam hal ini surat kabar (media cetak), menjadi salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan. Bila asumsi ini diterima, persoalan akan berkembang kepada bagaimana memanfaatkan peluang tersebut. Atau dengan kata lain bagaimana menulis di media? Adakah jurus-jurus khususnya? Atau proses kreatif menulis lebih merupakan pekerjaan mudah, seperti kata seorang pengarang terkenal: Menulis Itu Gampang!
Menulis di media massa, berarti melakukan komunikasi satu arah, dengan menggunakan koran (surat kabar) sebagai media. Mengapa satu arah, sebab pesan (berita, pendapat, analisa, dll), merupakan sesuatu yang sudah ditentukan, atau secara sendiri ditentukan oleh penulis. Apakah pesan ini akan membawa kebaikan atau keburukan? Tentu saja bergantung kepada apa yang ingin dituangkan, dan alasan mengapa materi (pesan) tersebut dinilai penting untuk dikemukakan (disampaikan) kepada masyarakat. Lebih dari itu, kedalaman persoalan, segi-segi dari masalah yang diangkat, merupakan variabel lain yang akan turut menentukan bentuk dan kualitas dari tulisan.
Sayangnya, pembahasan mengenai tata cara menulis di media massa, pada umumnya segera jatuh kepada masalah yang bersifat teknis (metode praktis). Masalah ini mudah disamakan dengan bimbingan tes untuk memasuki UMPTN, dimana pengajar atau pembahas dituntut untuk sesegera mungkin, semudah mungkin dan sesederhana mungkin, menyampaikan cara menulis yang baik. Padahal menulis (yang baik), tidak sesederhana (pengertiannya) itu. Untuk menulis yang baik, bukan saja diperlukan jurus tertentu tetapi lebih jauh lagi diperlukan (1) tingkat pemahaman tertentu terhadap suatu soal yang akan menjadi bahan tulisan; dan (2) pandangan dasar, sikap atau pendirian tertentu dari penulis. Mengapa demikian? Sebab menulis bukan sekedar permainan olah kata, melainkan kegiatan mengungkapkan kehidupan dengan dimensi-dimensinya. Dengan sendirinya diperlunya kesadaran tentang gagasan, visi, sikap dasar, sehingga memaksa orang “terbangun” dan bergegas mengolah kesadaran.